Saturday, December 31, 2011

Fungsi Population Genetics menjelaskan peran Seleksi Alam dalam Evolusi Neo-Darwinism

Fungsi Population Genetics menjelaskan peran Seleksi Alam dalam Evolusi Neo-Darwinism
Seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi di bidang biologi molekuler, aspek-aspek ilmu genetika juga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Aspek yang dimaksud masuk ke dalam ranah ilmu genetika yaitu classical genetics, molecular genetics dan population genetics. Quantitative genetics yang membahas secara mendalam berbagai macam sifat kuantitatif seperti tinggi badan, berat badan, IQ, kepekaan terhadap penyakit, dan sebagainya masuk ke dalam ilmu population genetics. Ilmu population genetics pula yang mendukung teori evolusi yang dikemukakan oleh Charles Darwin 150 tahun lalu. Ilmu ini menggunakan berbagai macam pendekatan statistik untuk membuktikan, menjelaskan atau mendeteksi adanya perubahan organisme dalam lingkungan oleh sebab adanya dorongan evolusi (evolutionary force). Dari sinilah lahir istilah Neo-Darwinism.

Dalam Neo-Darwinism, evolusi dideskripsikan sebagai perubahan frekuensi alel yang ada dalam populasi di tempat dan waktu tertentu oleh sebab adanya evolutionary force. Evolutionary force yang dimaksud di sini terdiri dari (1) Mutation, sebagai the building block of evolution, ia cenderung meningkatkan variasi genetis atau frekuensi alel yang menjadi subyek seleksi alam; (2) Natural Selection, terdiri dari directional selection, stabilizing selection dan disruptive selection; (3) random genetic drift, yang cenderung menekan variasi genetis; (4) Non-random mating yang meningkatkan homozigositas fenotip tanpa mempengaruhi frekuensi alel; (5) migration, yang mendorong kesamaan frekensi alel antar populasi yang berbeda.

Sebelum melangkah lebih jauh, alangkah baiknya jika kita mengenal bagaimana cara menghitung frekuensi alel dalam suatu populasi. Misalkan dalam suatu populasi, terdapat 2 alel dalam satu lokus, yaitu A1 dan A2, maka dalam populasi tersebut hanya ada variasi genotip individu sebagai berikut  A1A1, A1A2, dan A2A2.  Jika dalam populasi tersebut diketahui berjumlah 500 orang dan individu dengan genotip A1A1 = 245, A1A2 = 150 dan A2A2 = 105, maka frekuensi masing-masing alel dalam gene pool, yaitu A1 dan A2 bisa dihitung sebagai berikut :

Frekuensi A1= [(2 x 245) + (1 x 150)] / 1000 = 0,64

Frekuensi A2= [(2 x 105) + (1 x 150)] / 1000 = 0,36

Di sini 1000 artinya dalam gene pool yang terdiri dari 500 individu terdapat 1000 alel sebab masing-masing individu memiliki 2 alel atau diploid. Pada individu A1A1 terdapat dua alel A1, sedangkan dalam individu A1A2 terdapat satu alel A1.

Langkah selanjutnya adalah mengetahui apakah individu dengn alel tertentu memiliki kemampuan adaptasi lebih unggul dibandingkan alel lain yang dinyatakan dengan fitness, kita harus menghitung dulu nilai fecundity dan survival dari keturunan yang dihasilkan oleh individu dengan genotipe tertentu. Fecundity adalah kemampuan organisme untuk mengasilkan keturunan atau dengan kata lain rata-rata keturunan yang dilahirkan oleh organisme dengan genotpe tertentu dalam populasi bersangkutan. Survival adalah kemampuan keturunan tersebut untuk tetap hidup sampai masa reproduksi. Produk antara fecundity dan survival adalah fitness. Kita ambil contoh pada wolf spider betina yang menghasilkan keturunan seperti pada tabel dibawah ini.



Genotipe              fecundity       Survival             fitness          relative fitness

A1A1                        230               0,0200               4,6                       1.00

A1A2                        280               0,0150               4,2                       0,91

A2A2                        190               0,0100               1,9                       0,41         



Pada tabel di atas tampak bahwa individu homozygote A1 memiliki fitnes paling besar walaupun fecundity nya sedikit lebih rendah daripada heterozygote tapi memiliki survival yang lebih tinggi. Konsep relative fitness lebih sering dipakai dalam population genetics dibandingkan dengan absolute fitness. Dalam relative fitness, individu dengan genotipe tertentu yang memiliki fitness tertinggi dianggap memiliki fitness sebesar 1, sedangkan yang lainnya kurang dari 1 seperti tampak pada kolom terakhir tabel di atas. Dengan kata lain individu dengan kemampuan adaptasi paling tinggi memiliki fitness sebesar 1,00.

Dari penjelasan di atas tampak adanya proses seleksi terhadap individu dengan genotipe tertentu, yang dalam hal ini yaitu seleksi terhadap alel A2. Besarnya seleksi yang dialami oleh individu dengan genotip tertentu dinyatakan dengan bilangan coefficient of selection. Hubungan antara fitness dengan coefficient of selection (s) dapat dinyatakan sebagai berikut :

                                         coefficient of selecion (s) = 1 – fitness (F)

Dari contoh dalam tabel di atas, dapat dihitung coefficient of selection (s) nya, yaitu sebesar 0,59.

Dalam lingkungan yang sesungguhnya, alel tertentu bisa mempengaruhi kemampuan beradaptasi (fitness) individu tidak selalu secara langsung, artinya, fenotip yang dihasilkan oleh genetotip tertentu tidak secara langsung menentukan kemampuan hidupnya, tapi lebih menentukan kemampuan hidup individu tersebut melalui melalui interaksinya dengan lingkungan. Misalkan kemampuannya berkamuflase suatu organisme sangat bergantung pada genotipe yang mengkode warna pigmen dan kondisi lingkungan di mana organisme itu hidup. Semakin baik kemampuan berkamulflase maka semakin tinggi pula ia terhindarkan dari predator, akibatnya, alel yang mengkode sifat terkait lebih banyak diturunkan pada generasi berikut daripada alel lain. Contoh mekanisme seleks seperti ini tampak pada salah satu jenis kupu Beston betularia di Inggris (lihat gambar). Sebelum era industrialisasi di Inggris, banyak pohon masih berwarna terang, sehingga kupu berwarna terang lebih terkamuflase dan terhindarkan dari predator daripada kupu berwarna gelap. Di sini alel pengkode pigmen gelap dominan terhadap alel pengkode pigmen terang. Namun, saat era industrialisasi, dimana banyak sekali polusi udara yang membuat warna kulit pohon menjadi lebih gelap, kupu dengan warna gelap lebih adapted dibandingkan dengan kupu berwarna terang, akibatnya frekuensi alel untuk mengkode pigmen warna gelap lebih banyak atau meningkat.


Efek Seleksi Alam pada Frekuensi Alel di Generasi Berikut


Seperti yang telah disebutkan di atas, seleksi alam dapat meningkatkan frekuensi alel yang menghasilkan fenotipe dengan fitness tertinggi. Perhitungan mengenai efek seleksi alam ini kita ambil contoh yang sama pada pada tabel di atas, namun kali ini individu heterozygote memiliki relative fitness sama dengan individu homozygote yaitu 1,00 sebagai berikut:



Genotipe       frekuensi genotipe P   relative fitness        kontribusi      frekuensi genotipe P’

A1A               (0,64)2= 0,41                   1.00                     0,41               0,41/0,92 = 0,44

A1A2                2 (0,36)(0,64)=0,46           1,00                     0,46               0,46/0,92 = 0,50

A2A2                (0,36)2 = 0,13                   0,41                     0,05               0,05/0,92 = 0,06

                          total = 1                                             total = 0,92             total = 1



Perhitungan frekuensi P di atas berdasarkan hukum Hardy-Weinberg. Dari perhitungan di atas tampak bahwa total frekuensi alel pada generasi berikut (P’) mengceil sebab adanya seleksi pada alel tertentu, dalam hal ini alel A2 dalam genotip homozygote A2. Dalam generasi berikutnya, frekuensi genotipe  A1A1 menjadi 0,44, genotipe A1A2 menjadi 0,50, dan genotipe A2A2 menjadi 0,06. Frekuensi genotipe A2A2 turun dari 0,13 menjadi 0,06, yaitu tinggal separuhnya! Dari perhitungan ini dapat diketahui bahwa frekuensi alel A2 pada generasi berikut menjadi :

(0,06) + (0,5 x 0,50) = 0,31

Yakni mengalami pernurunan sebesar 0,36-0,31 = 0,05 atau sekitar 5%. Jika frekuensi A1 dinyatakan sebagai p dan frekuensi A2 dinyatakan sebagai q, maka perbedaan frekuensi A2 antara generasi parental dan f1 dinyatakan dalam Δq = -0,05. Sedangkan frekuensi alel A1, dengan cara perhitungan yang sama dengan alel A2 mengalami peningkatan sebesar 0,05 atau 5%.

Contoh di atas menggambarkan jika dominasi (dominance) A1 adalah complete dominance, artinya, fenotipe dari heterozygote memiliki sifat yang sama persis dengan homozygote A1 sehingga seleksi alam tidak bisa “mendeteksi” adanya alel A2 dalam keadaan heterozygote. Hal ini tidak selalu benar pada dunia nyata. Sebab kadangkala, ada alel yang tidak menunjukkan sifat demikian dalam hal dominasi, tapi memiliki derajat dominasi sampai nilai tertentu yang dinayatakan dalam level of dominance (h). Alel dengan sifat demikian dikatakan memiliki efek additif (additive effects). Lihat contoh pada tabel berikut ini :

Genotipe       frekuensi genotipe P     relative fitness    kontribusi       frekuensi genotipe P’

A1A1                (0,64)2= 0,41                    1.00                   0,41                 0,41/0,83 = 0,49

A1A2                2 (0,36)(0,64)=0,46            0,80                   0,37                 0,37/0,83 = 0,44

A2A2                (0,36)2 = 0,13                    0,41                   0,05                 0,05/0,83 = 0,06

                        total = 1                                            total = 0,83             total = 1


Dengan data di atas, alel A2 mengalami penurunan sebesar 8%, lebih besar daripada tabel di atas. Dari sini tampak bahwa jika level of dominance menurun, maka alel A2 dalam keadaan heterozygote akan “terdeteksi” oleh seleksi alam.

Penejelasan ini hanyalah sepotong dari sekian banyak perhitungan dalam population genetics yang tentu saja tidak bisa diceritakan panjang lebar dalam  kesempatan ini. Penjelasan ini belum mencakup penjelasan peran population genetics dalam menjelaskan seleksi alam yang terjadi pada quantitative traits sebagai dasar evolusi organisme yang jauh lebih kompleks.

No comments:

Post a Comment