Thursday, December 1, 2011

Genetika dan Peluang Cegah Penularan HIV

Genetika dan Peluang Cegah Penularan HIV
Genetika dan Peluang Cegah Penularan HIV
Genetika telah membantu banyak sisi kehidupan manusia, mulai dari memproduksi benih transgenik, membantu memecahkan kasus kriminal lewat genetika forensik hingga produksi makanan yang melibatkan mikroba. Kini, genetika berpeluang mencegah penularan HIV/AIDS melalui terapi gen.

Mengapa genetika menjadi penting? Tercatat bahwa setiap tahunnya, lebih dari 2 juta orang dewasa terinfeksi HIV dan banyak di antaranya adalah yang berusia produktif. Sementara itu, pengembangan vaksin tradisional masih menemui jalan buntu. Lewat genetika, bisa diupayakan cara agar manusia secara alami bisa "kebal" dari HIV.

David Baltimore, pakar virus dari California Institute of Technology memiliki ide kontroversial tentang terapi gen itu. Ia mengusulkan untuk menyisipkan sel otot manusia tanpa HIV/AIDS dengan gen penghasil antibodi HIV dari orang dengan HIV/AIDS dengan menggunakan adenovirus sebagai pengirimnya.

"Ini sesuatu yang tidak biasa dan sangat rasional untuk mengatakan bahwa tak ada alasan untuk melakukannya kecuali tak ada alternatif. Tapi jika tak ada alternatif, seperti sekarang, kita harus memikirkan cara baru untuk melindungi manusia," kata Baltimore seperti dikutip Nature, Rabu (30/11/2011).

Dengan usulan Baltimore, maka gen yang disisipkan ke adenovirus diharapkan bisa menjadi otak pembentukan antibodi melawan HIV yang tidak didapati pada manusia yang belum terinfeksi HIV/AIDS. Sel otot kemudian menjadi pabrik dari antibodi ini. Dengan cara ini, penularan bisa dicegah.

Keefektifan cara ini telah dicoba pada tikus. Ilmuwan menemukan 2 jenis antibodi, b12 dan VRC01, yang terbukti bekerja efektif melawan infeksi HIV dengan jumlah 100 kali lebih besar dari dosis infeksi yang biasa diterima manusia. Level antibodi yang diproduksi bertahan tinggi selama 1 tahun, membuktikan bahwa cara ini bisa menjadi terapi jangka panjang.

Beberapa kalangan khawatir dengan usulan Baltimore. Pertama, hasil percobaan pada tikus tidak selalu bisa menjadi patokan sebab hasilnya bisa berbeda pada manusia. Kedua, sekali gen disisipkan sel otot maka proses tak bisa dibalikkan lagi. Ini bisa menjadi masalah jika ada akibat negatif. Meski demikian, Baltimore tetap akan melanjutkan penelitiannya, termasuk menjanjaki kemungkinan mengujicoba pada manusia.Genetika telah membantu banyak sisi kehidupan manusia, mulai dari memproduksi benih transgenik, membantu memecahkan kasus kriminal lewat genetika forensik hingga produksi makanan yang melibatkan mikroba. Kini, genetika berpeluang mencegah penularan HIV/AIDS melalui terapi gen.

Mengapa genetika menjadi penting? Tercatat bahwa setiap tahunnya, lebih dari 2 juta orang dewasa terinfeksi HIV dan banyak di antaranya adalah yang berusia produktif. Sementara itu, pengembangan vaksin tradisional masih menemui jalan buntu. Lewat genetika, bisa diupayakan cara agar manusia secara alami bisa "kebal" dari HIV.

David Baltimore, pakar virus dari California Institute of Technology memiliki ide kontroversial tentang terapi gen itu. Ia mengusulkan untuk menyisipkan sel otot manusia tanpa HIV/AIDS dengan gen penghasil antibodi HIV dari orang dengan HIV/AIDS dengan menggunakan adenovirus sebagai pengirimnya.

"Ini sesuatu yang tidak biasa dan sangat rasional untuk mengatakan bahwa tak ada alasan untuk melakukannya kecuali tak ada alternatif. Tapi jika tak ada alternatif, seperti sekarang, kita harus memikirkan cara baru untuk melindungi manusia," kata Baltimore seperti dikutip Nature, Rabu (30/11/2011).

Dengan usulan Baltimore, maka gen yang disisipkan ke adenovirus diharapkan bisa menjadi otak pembentukan antibodi melawan HIV yang tidak didapati pada manusia yang belum terinfeksi HIV/AIDS. Sel otot kemudian menjadi pabrik dari antibodi ini. Dengan cara ini, penularan bisa dicegah.

Keefektifan cara ini telah dicoba pada tikus. Ilmuwan menemukan 2 jenis antibodi, b12 dan VRC01, yang terbukti bekerja efektif melawan infeksi HIV dengan jumlah 100 kali lebih besar dari dosis infeksi yang biasa diterima manusia. Level antibodi yang diproduksi bertahan tinggi selama 1 tahun, membuktikan bahwa cara ini bisa menjadi terapi jangka panjang.

Beberapa kalangan khawatir dengan usulan Baltimore. Pertama, hasil percobaan pada tikus tidak selalu bisa menjadi patokan sebab hasilnya bisa berbeda pada manusia. Kedua, sekali gen disisipkan sel otot maka proses tak bisa dibalikkan lagi. Ini bisa menjadi masalah jika ada akibat negatif. Meski demikian, Baltimore tetap akan melanjutkan penelitiannya, termasuk menjanjaki kemungkinan mengujicoba pada manusia.

No comments:

Post a Comment